Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dijahili Makhluk Halus Penunggu Sekolah Tua



Kisah mistis ini dialami oleh Dadang KS, warga jalan Mohammad, Pamoyanan, Bandung. Ia mantan pengurus bidang organisasi Dewan Masjid Indonesia (DMI), propinsi Jawa Barat. Ia mengaku pernah dijahili makhkluk halus, sehingga membuatnya tak ingat apa yang terjadi selama beberapa jam.

Ternyata bukan hanya Dadang saja yang pernah dijahili makhluk halus yang membikin orang jadi linglung. Ayah kandungnya sendiri, Mahmud Sueb, dan pamannya, Mang Diding, juga mengalami nasib yang sama. Berikut ini kisah Dadang kepada Misteri.

Aku tercatat sebagai mahasiswa di jurusan studi dan ekonomi pembangunan Falkutas Ekonomi Universitas Padjajaran, Bandung. Jarak tempat kuliahku dari rumah, sebenarnya cukup jauh.

Namun, terasa begitu dekat, karena pulang pergi kuliah menggunakan sepeda motor. Setiap hari, aku berangkat naik motor bebek yang saat itu sangat digandrungi anak-anak muda. Sepeda motor kecil ini menjadi kebanggaanku. Selain dipakai untuk kuliah, juga untuk mejeng.

Si Victoria ini membuatku semakin percaya diri. Victoria adalah kekasihku yang sangat kusayangi. Karena itu, motor kecil warna merah darah ini selalu tampak bersih dan mengkilat, karena memang selalu kubersihkan, kutatap, dan ku usap serta kubelai dengan penuh kasih sayang.

Aku juga aktif di organisasi kemahasiswaan di kampus. Sehingga hampir setiap hari aku berada di kampus, meskipun tak ada kegiatan perkuliahan. Aku sering menjadi duta ke berbagai tempat mewakiliki organisasiku.

Suatu hari, aku ditugaskan pimpinan organisasi mahasiswa untuk menjemput seorang tamu, gadis asal Banjarmasin, Kalimantan Timur. Seperti biasa, aku tak pernah menolak tugas. Kali ini dengan senang hati aku memacu si Victoria dari rumahku. Jum’at petang itu, udara terlihat mendung. Awan hitam beriringan di langit kelabu.

Ada segumpal awan tampak keluar dari kelompoknya. Kemudian ia berubah menjadi titik-titik air. Perlahan tapi pasti, titik-titik air itu jatuh ke bumi. Hujanpun menerpa wajahku. Dan gerimis mempercepat senja.

Namun, hujan dan senja yang mulai temaram tak menghalangiku untuk pergi melaksanakan tugas. Tiba di jalan Belitung, kucari gadis yang akan kujemput itu. Katanya, ia akan menantiku di depan kolam renang Tirta Merta yang terletak tak jauh dari gedung SMAN 5 Bandung. Si Victoria kusandarkan di dekat sebuah pohon, dan aku berdiri di sampingnya.

Tak terasa, sampai hampir dua jam aku menanti, wanita yang kutunggu tak kunjung datang. Aku pun mulai suntuk karenanya. Apalagi di depan sekolah yang dibangun tahun 1916 ini memang suasananya cukup menyeramkan. Pohon-pohon besar berjejer di sepanjang jalan tersebut. Tak seorangpun yang kulihat lewat di jalan yang lenggang ini.

Suara jangkrik terdengar mengerikan serasa mengiris hatiku, dan burung malam terdengar bersuara parau seperti suara sengau setan yang baru bangkit dari tidurnya yang lelap. Aku ingat malam itu malam Jum’at Kliwon. Konon, di malam inilah hantu dan setan gentayangan mencari mangsa manusia yang lemah imannya.

Karena gadis itu tak kunjung datang, maka kuputuskan untuk segera pulang. Akhirnya kunaiki motorku. Kemudian mesinnya kuhidupkan. Aneh, bersamaan dengan itu, tiba-tiba hembusan angin dingin menerpa wajahku.

Sejenak wajahku terasa membeku. Mataku perih, hidung mau bersin tapi tertahan, mulutku kelu, telingaku mendenging. Terasa ada sebuah benda menclok di kudukku. Ya, bulu kudukku langsung meremang.

Tak lama kemudian ada lagi benda asing bertengger di punggungku. Rasanya berat dan sangat dingin. Sadel motorku bergerak seperti ada orang yang duduk membonceng di belakangku. Aku ketakutan. Malam itu aku bergegas pulang ke rumahku, karena orang yang kujemput tak ada di tempat. Ku pacuh motorku. Beban di punggung dan kudukku terasa makin memberat. Aneh, meski ada beban berat, motorku melaju sangat cepat, seolah-olah mendapat tambahan tenaga yang dahsyat.

Menurut perasaanku, motor melaju ke barat, menuju Pamoyanan. Tak lama kemudian, aku sampai di sebuah jalan menanjak. Sekelilingku gelap gulita. Dari kejauhan kulihat seekor kunang-kunang terbang kepayahan. Seperti mendekat tetapi ternyata makin menjauh. Aku sangat heran, karena rumahku bukan di tempat ini.

Terasa kepalaku makin berat. Rasa takut makin menjadi-jadi hingga akupun pingsan. Setelah sadar, kudengar adzan Subuh berkumandang. Aku terkejut. Karena tergolek dipinggir jalan tak jauh dari alun-alun. Jalan ini ternyata daerah Cigending, sebelah utara alun-alun Ujungberung. Kulirik motorku masih ada disisiku, dingin dan diselimuti kabut.

Ternyata aku tidak pulang ke rumahku di Pamoyanan, di Bandung Barat, tetapi dibawa makhluk halus ke Ujungberung. Waktu hal ini kuceritakan kepada ayahku, ia uga kelihatan kaget. "Pasti kamu dijahili setan, Dang!" kata ayahku serius. Ayah bercerita, beberapa tahun yang lalu ia juga pernah dijahili makhluk halus. Saat melewati jalan Belitung di waktu malam.

Dikisahkan, malam Jum’at Kliwon itu ayah pulang dari rumah teman dengan naik becak. Tetapi saat melihat ke belakang, ayah terkejut, karena becak itu tak ada pengemudinya. Ayah langsung turun dari becak dan lari lintang pukang. Anehnya, ayah bukan lari menuju barat ke rumah, tetapi kabur ke arah timur, dan kemudian sampai di daerah Ujungberung. Persis di tempatku tergolek. Tentu saja, ayah pingsan akibat kelelahan.

Lain lagi yang dialami pamanku, Mang Diding. Malam itu, ia lewat di jalan Belitung. Dipinggir jalan yang sepi itu hanya ada tukang bandrek. Mang Diding kemudian membeli bandrek. Namun minuman khas Sunda yang biasanya hangat itu, ternyata terasa sedingin es di lidah paman.

Anehnya, minuman yang terbuat dari jahe itu mengepulkan asap. Tubuh pedagang bandrek juga tampak diselimuti asap putih tebal. Bau kemenyan tersebar. Wajah Mang Diding berubah pucat pasi. Tubuhnya menggigil seperti orang meriang. Ia kemudian lari terbirit-birit.

Namun, meskipun ia lari sekuat tenaga, tapi tubuhnya masih tetap ada di jalan Belitung. Sampai akhirnya ia pingsan. Berhari-hari rasa dingin bandrek dibibir Mang Diding tetap melekat. Sejak saat itu, Mang Diding menyatakan tabu lewat jalan itu. Kalau hari sudah menjelang malam.

Di siang hari pun, Mang Diding seperti enggan melalui jalan tersebut. Bahkan, ketika anak tertua Mang Diding diterima di SMAN Belitung ia tak mau mendaftarkannya. Terpaksa bibiku yang daftar ulang anaknya.